Rabu, 18 Mei 2011

Talfiq & Sholat Juma'at di selain masjid


1.        PENDAHULUAN
Dewasa ini, praktek keagamaan yang berkembang terkadang terasa janggal dan diluar kebiasaan. Sebut saja dalam masalah sholat jum’at yang telah berkembang, dimana sholat jum’at tidak hanya dilakukan dimasjid saja, tetapi di pasar, perkantoran, kampus, sekolah, atau tempat lain selain masjid. Pendapat apakah yang mereka ambil dan atas dasar apa melakukan itu? Memang kini banyak perusahan atau lembaga pendidikan yang dengan alasan efisiensi waktu dan tenaga, melarang untuk berjama’ah di masjid jami’ lalu sebagai jalan keluarnya menyulap halaman besar, ballroom atau tempat parkir untuk dijadikan sholat jum’at di kalangan tersebut.
Tak bisa dipungkiri  kita tahu bahwa islam adalah agama yang tidak menghendaki kesusahan tapi kemudahan bagi umatnya. Dengan dalih ini sesuai dengan hikmah adanya ajaran talfik di islam.
semisal si fulan yang melakukan talfik yang tidak dibenarkan dia niat sholat jum’at dengan tata cara niat yang ikut pada syafi’iyah, tetapi dalam pertengahan sholat dia tidak membaca basmalah dalam surat al – fatihah yang menjadi rukun sholat dengan dalih ikut pada pendapat hanafiyah yang tidak mengharuskan basmalah.
Terkait masalah di atas Memang islam yang telah digambarkan oleh nabi bahwa akan terpecah menjadi beberapa golongan termasuk pula dalam hal ajaran fiqh yang menjadi rahmatan lil’alamin. Kita boleh memilih mana yang kita mau selagi itu sesuai bahkan boleh kita memilih mazhab yang lebih dirasa ringan bagi kita dan cocok bagi kondisi kita, tetapi semua itu ada aturannya sehingga ibadah yang dilakukan menjadi benar ( dalam masalah talfik ) 

Menilik kasus si fulan diatas, kemunginan terjadinya kasus tersebut  dipicu oleh beberapa faktor penyebab ; Pertama: Kejahilan (baca ketidaktahuan) seseorang dalam memahami ajaran agamanya, Kedua : Kepintaran yang dibarengi dengan Keinginan nafsunya yang ingin menang dan benar sendiri dengan mencari legitimasi atas perilaku salahnya, Ketiga : Lingkungan pemahaman dan pengamalan Islam yang kurang sehat, dimana ia setiap hari beraktifitas di dalamnya.

Gambaran cerita di atas menggambarkan peristiwa diatas perlunya mengupas tetang pembahan sholat jum’at selain di masjid dan bersambung pada pembahasan talfiq, apa itu talfiq, bagaimana hukumnya, dan bagaimana pendapat para ulama tentangnya, akan dibahas dalam makalah ini.

II. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian diatas dirumuskan beberapa rumusan masalah yang menjadi acuan penyusunan makalah ini, yaitu:

1. Bagaimana hukumnya mendirikan shalat Jum’at di Mesjid Sekolah, Pabrik / perusahaan, kantor, atau pasar ? Bagaimana pula jika di aula yang hanya digunakan untuk shalat Jum’at saja (tidak digunakan untuk shalat yang lain) ?
2. Apakah yang dimaksud dengan talfiq?
3. Apa sajakah yang menjadi ruang lingkup talfiq?
4. Bagaimanakah Sudut pandang Ulama tentang talfiq?
5. Bagaimanakah Bentuk Talfiq yang diperbolehkan?


III. PEMBAHASAN

1.      Sholat jum’at di selain masjid
Sholat jum’at yang dilakuakan diselain masjid memang kerap kita temui , Para ulama   mazdhab berbeda pendapat tentang masalah ini. Dalam Al-Fiqhu ‘ala Madzahibil ‘Arbaah juz I hal. 387 ( atau juz I hal.602 dalam Al-Maktabah Syamilah) dipaparkan tentang macam – macam pedapat terkait masalah ini  :
a.       MALIKIYAH  memberi pendapat tentang sholat jum’at tidak sah kecuali dilakukan di masjid.
اتفق ثلاثة من الأئمة على جواز صحة الجمعة في الفضاء وقال المالكية : لا تصح إلا في المسجد وقد ذكرنا بيان المذاهب تحت الخط ( المالكية قالوا : لا تصح الجمعة في البيوت ولا في الفضاء بل لا بد أن تؤدي في الجامع
b.      HANABILAH , HANABILAH DAN SYAFI’IYAH sepakat pendapat bahwa boleh melakukan sholat jum’at di selain masjid
الحنابلة قالوا : تصح الجمعة في الفضاء إذا كان قريبا من البناء ويعتبر القرب بحسب العرف فإن لم يكن قريبا فلا تصح الصلاة وإذا صلى الإمام في الصحراء استخلف من يصلي بالضعاف
الشافعية قالوا : تصح الجمعة في الفضاء إذا كان قريبا من البناء وحد القرب عندهم المكان الذي لا يصح فيه للمسافر أن يقصر الصلاة متى وصل عنده وسيأتي تفصيله في مباحص ” قصر الصلاة ” ومثل الفضاء الخندق الموجود داخل سور البلد إن كان لها سور
الحنفية قالوا : لا يشترط لصحة الجمعة أن تكون في المسجد بل تصح في الفضاء بشرط أن لا يبعد عن المصر بأكثر من فرسخ وأن يأذن الإمام بإقامة الجمعة فيه كما تقدم في الشروط )
Dengan berbagai pendapat di atas mungkin untuk yang tidak bisa melakukan sholat jum’at di masjid bisa mengikuti  selain malikiyah ( syafi’iyah, Hanabilah, atau Hanafiyah )
2.     Pembahasan Talfiq
A. Definisi Talfiq
Kata Talfiq menurut etimologi (bahasa), memiliki arti menjahit atau menggabungkan . Sedangkan menurut terminologi (istilah),
Contoh nikah tanpa wali dan saksi adalah sah asal ada iklan atau pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah tanpa wali, sedangkan menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.
Di bawah ini adalah beberapa makna Talfiq secara istilah di sisi bidang keilmuan Usul al-fiqh:

1. Talfiq berarti, mengerjakan sesuatu dengan cara seperti yang tidak dikatakan oleh seorang mujtahid, atau dengan kata lain mengambil satu qodliyah(rangkaian) yang mempunyai kandungan beberapa rukun atau bagian dengan dua pendapat ulama’ atau lebih supaya sampai pada hakikat sesuatu yang tidak ada seorangpun mengatakannya
  ( Insiklopedi Hukum Islam, 2001)
 Atau mencampuradukkan perbuatan dalam satu qodliyah (rangkaian) ibadah yang memiliki dua pendapat atau lebih, lalu pada tahap pelaksanaan mempraktekkan dengan cara yang tak pernah dipilih dan diakui oleh imam madzhab manapun
 
2. Beramal dalam satu permasalahan dengan menggunakan dua pendapat bersama-sama atau salah satunya, dengan adanya kesan pendapat yang kedua.
 
3. Mencantumkan dalam satu permasalahan, dua pendapat atau lebih sehingga menghasilkan satu kesimpulan yang tidak dikatakan oleh seseorang atau imam madzhab manapun.
4. Perbuatan mencampuradukan berbagai mazdhab dalam sesuatu masalah dan tidak terkait dengan pendapat satu mazdhab

B. Ruang lingkup talfiq
Para ulama` fiqh sepakat bahwa ruang lingkup talfiq ini terbatas pada pada masalah-masalah furu`iyah ijtihadiyah dlonniyyah (cabang-cabang fikih ijtihadi yang masih perkiraan). Adapun pada masalah ushuliyyah (pokok dasar agama) seperti masalah iman atau aqidah itu bukanlah ruang lingkup talfiq. Dikarnakan bertaklid saja dalam masalah ini tidak dibenarkan apalagi bertalfiq. Serta tidak di perbolehkan bertalfiq lagi ketika hasilnya akan menghalalkan sesuatu yang jelas jelas keharamannya dengan adanya nash qoth’i, seperti zina dan minuman keras.
Mengenai hukum-hukum furu`iyah yang menjadi ajang ajang bahasan talfiq di atas,
ulama` fiqh telah mengelompokkan menjadi tiga bagian sebagai berikut:

1. Hukum yang berdasar pada kemudahan dan kelapangan yang berbeda-beda sesuai perbedaan kondisi setiap manusia. Hukum-hukum seperti inilah yang termasuk kemurnian ibadah (ibadah mahdloh),
karena dalam masalah ibadah seperti ini tujuannnya adalah kepatuhan dan kepasrahan diri seorang hamba kepada Allah Swt.

2. Hukum yang didasarkan pada sikap wira’i dan ke-ihtiyatan. Hukum-hukum seperti ini biasanya berkaitan dengan sesuatu yang dilarang Allah Swt karena membuat madlorot. Dalam hukum ini tidak dibenarkan mengambil kemudahan dan bertalfiq kecuali dalam keadaan dlorurot. Misalnya larangan memakan bangkai. Dalam hal ini Rasul bersabda : “Segala sesuatu yang aku larang tinggalkanlah, dan segala yang aku perintahkan kerjakanlah sesuai kemampuanmu”.

3.Hukum yang didasarkan pada kemaslahatan dan kebahagiaan bagi manusia. Misalnya, pernikahan, had-had dan transaksi sosial ekonomi.


C. Bentuk Talfiq yang diperbolehkan
Kebolehan talfiq di atas tadi tidak bersifat mutlak adanya, akan tetapi dibatasi oleh ruang lingkup yang telah ditentukan sebagai berikut:

1. Tidak menimbulkan kebatilan pada hakekat sesuatu tersebut, seperti menghalalkan sesuatu yang sudah jelas jelas keharamannya semisal zina dan minum arak .
2. Tidak menimbulkan bahaya pada selain hakekat sesuatu itu sendiri, seperti mengambil rukhsoh dengan sengaja, dengan cara mengambil kemudahan pada tiap tiap madzhab dengan tanpa keadaan dlorurot dan udzur, ini berbahaya karena berniat menutup kesusahan dengan cara yang salah dengan melemahkan pembebanan syari`at itu sendiri
                Dan ketentuan kebolehan taklid itu sendiri ialah, ketika memang benar benar membutuhkan dan darurat sekali, serta tidak bermain main atau sengaja mengambil kemudahan dengan tanpa pertimbangan kemaslahatan syari`at.
 Dan talfiq ini juga terbatas pada sebagian hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah ibadah, mu`amalah dan ijtihadiyah, bukan pada masalah qot`iyyah (yang telah pasti). Sesungguhnya kebenaran tentang kebolehan talfiq dan pelarangannya, dapat ditinjau dari aspek yang ditimbulkannya.

Yang pertama, apabila sesuatu tersebut mengahantarkan kepada sesuatu yang menghancurkan harapan dari kemaslahatan syari’ah dan ketetapan atas kebijaksanaan syari’ah itu sendiri, maka hal seperti inilah yang dilarang dan dinilai membahayakan.

Dan yang kedua, apabila sesuatu perkara tersebut bersifat membaguskan dan menggunakan kebijaksanaan syari’ah itu sendiri untuk menyenangkan manusia di dua sudut permasalahan dengan kemudahan pelaksanaan ibadah atasnya dan menimbulkan kemaslahatan dalam kehidupan sosial masyarakat, maka hal yang seperti ini yang diperbolehkan

D. Sudut pandang Ulama tentang talfiq:
Ulama’ berbeda pendapat untuk menyikapi hukum talfiq, dikarenakan tidak ada dalil yang jelas tentang perbolehan atau larangan untuk bertalfiq, sebagian pendapat para ulama adalah sebagai berikut :

1. Syeih Syihab Al-Romly dari golongan Syafi`iyyah berpendapat, ketika Madzhab sudah dibukukan dan ada seseorang berpindah dari satu madzhab ke madzhab yg lain itu diperbolehkan. Dan juga ketika seseorang bertaqlid pada satu mujtahid kemudian dalam beberapa masalahan yg lain dia ikut mujtahid yang lain lagi itu juga diperbolehkan, akan tetapi tidak dengan alasan mengambil rukhsoh

2. Syeih Abdul Ro`uf Al-Manawy dari golongan Syafi`iyyah juga dalam kitab karangan beliau Syarhu Al-Jami` Al-Shoghir berpendapat, bahwasanya talfiq yang di dalamnya terkandung dua hakikat yang kompleks (murokkab) maka itu tidak diperbolehkan karena menyalahi ijma`.

3. Imam Walidy dari kalangan Hanafiyah berpendapat, bahwasanya seseorang itu tidak berkewajiban mengikuti satu madzhab yang ditentukan, dan diperbolehkan untuk dia mengikuti pendapat imam madzhab lain.

4. Imam Ghozali berpendapat untuk melarang praktek talfiq dengan alasan beliau bahwasanya hal tersebut condong pada pengikutan hawa nafsu, sementara syariat menurut beliau datang untuk mengekang liarnya atau tidak terkontrolnya hawa nafsu.

Sehingga setiap perkara yang diperbolehkan seseorang untuk mengikuti pada selain madzhabnya, itu harus dikembalikan kepada syari‘at, bukan kepada hawa nafsu belaka.

 Beliau menyitir ayat Al-Quran yang berbunyi:
artinya :“Jika kamu berselisih paham tentang suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah Swt” .

5. Imam `Izzudin bin Abdi Al-Salam menyebutkan bahwa, boleh bagi orang awam mengambil ruhshoh beberapa madzhab (talfiq), karena hal tersebut adalah suatu yang disenangi.
Dengan alasan beliau bahwa agama Allah itu mudah (dinu allahi yusrun) serta firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 78:
 “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam satu agama suatu kesempitan”.

6. Imam Al-Qarafi menambahkan bahwa, praktik talfiq ini bisa dilakukan selama ia tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab yang diikutinya.


E.    PROBLEMATIKA INTIQAL MADZHAB
       Apakah setiap muslim di masa sekarang harus mengikat dirinya dengan salah satu madzhab yang ada dan selalu mengambil pendapat madzhabnya saja, atau bolehkah kita berganti-ganti pegangan dan mengambil pendapat yang paling ''ringan'' dari beberapa madzhab pada setiap masalah?
       Memang ada sedikit beda pendapat tentang masalah kesetiaan pada satu madzhab ini. Ada beberapa pendapat ulama yang menganjurkan agar kita tidak terlalu mudah bergonta-ganti madzhab. Bahkan ada juga yang sampai melarangnya hingga mengharamkannya. Sementara itu umumnya ulama tidak sampai mewajibkannya.
       Hujjah mereka yang mengharuskan berpegang pada satu madzhab adalah agar tidak terjadi kerancuan dalam aplikasi ibadah. Sebab tiap-tiap madzhab dihasilkan dari suatu logika ijthad yang sistematis, teratur dan runtut. Sehingga menurut pendapat ini, kita tidak boleh main campur aduk begitu saja hasil-hasil ijtihad yang metologinya saling berbeda.
Harus ada sebuah logika yang runtut dan konsekuensi untuk tiap-tiap ijtihad. Karena itu sebagian ulama yang masuk ke dalam kelompok in berpendapat tidak bolehnya bergonta-ganti madzhab.
       Sedangkan pendapat yang berlawan mengatakan sebenarnya kalau diteliti lebih dalam, tidak ada kewajiban dari nash baik Quran maupun sunnah yang mengharuskan hal itu. Umumnya para ulama mengatakan bahwa setiap orang bebas untuk memilih mazhab mana yang ingin dipegangnya. Termasuk bila seseorang harus berganti madzhab berkali-kali. Dalilnya adalah bahwa dahulu Rasulullah SAW tidak pernah mewajibkan untuk bertanya kepada satu orang shahabat saja. Tetapi siapa saja dari shahabat yang punya pengetahuan tentang suatu masalah, boleh dijadikan rujukan. Sebagaimana firman Allah: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS An-Nahl: 43)
       Ayat ini tidak mewajibkan bila sudah bertanya kepada satu orang, maka tidak boleh lagi bertanya kepada orang lain. Ayat ini hanya mensyaratkan bahwa kita wajib bertanya kalau tidak tahu, agar dapat beribadah dengan benar. Namun tidak boleh bertanya kepada sembarang orang, harus kepada ahluz-zikr, yang diterjemahkan sebagai ulama, fuqaha'''' ahli ilmu syariah yang kompeten dan benar-benar menguasai bidangnya. Tapi tidak mengharuskan hanya pada satu orang saja.
       Di tengah beda pendapat antara dua ''kubu'' ini, kami lebih cenderung kepada pendapat yang memudahkan. Yaitu pendapat yang intinya tidak bikin susah seorang yang ingin menjalankan agamanya. Dan kondisi bisa saja berbeda-beda untuk tiap orang.
Di tempat tertentu, ada mungkin seorang 'alim yang sangat menguasai ilmu agama dalam versi madzhab tertentu. Boleh dibilang bahwa dalam semua masalah agama, beliaulah satu-satunya rujukan yang ada. Meski ilmunya hanya dengan satu paham madzhab saja. Maka seorang muslim awam boleh bertanya kepada beliau dan menjadikannya sebagai rujukan dalam masalah agama.
       Tidak ada kewajiban bagi si awam ini untuk melakukan konsultasi silang kepada ulama lain yang tidak terjangkau baginya. Asalkan si ''''alim itu memang seorang yang menguasai masalah fiqih, cukuplah bagi masyarakat di sekitarnya menjadikan pendapat-pendapat beliau sebagai rujukan. Atau dalam bahasa lainnya, bertaqlid kepadanya. Tetapi bertaqlid di sini bukan kewajiban, melainkan justru memudahkan. Sifatnya bukan keharusan, tetapi kebolehan.
       Di tempat lain boleh jadi ada surplus ulama, misalnya di situ berkumpul beberapa ulama dari beberapa madzhab yang saling. Maka buat orang-orang awam yang tinggal di tempat itu, boleh saja mereka berguru kepada masing-masing ulama dari beberapa madzhab itu. Tidak ada keharusan untuk ''''selalu setia sepanjang masa'''' dalam menjalankan pendapat dari ulama tertentu dari mereka. Sebagaimana juga tidak ada larangan untuk tetap setia kepada satu saja dari mereka.
       Ini yang kami maksud dengan prinsip yang memudahkan. Bila di suatu tempat hanya ada satu ulama, kita boleh bermadzhab satu saja, tidak wajib berpindah-pindah madzhab. Karena pindah-pindah itu justru menyulitkan. Sebaliknya, bila di suatu tempat ada banyak sumber ilmu dari beragam madzhab, boleh-boleh saja untuk membandingkannya dan memilih pendapat yang menurut kita paling kuat dalilnya. Tetapi juga tidak ada larangan untuk tetap berpegang saja pada satu madzhab, meski di sekeliling terdapat banyak madzhab lain.

                                                                                                                          










IV. KESIMPULAN
Dari Uraian di atas, di simpulkan:
1. Menyelenggarakan shalat jum’at di sekolah/pabrik/kantor/pasar/aula boleh dengan bolehnya ta’adud jum’at dan bolehnya melaksanakan shalat jum’at di lapangan.
2. Pengertian Talfiq adalah Mencantumkan dalam satu permasalahan, dua pendapat atau lebih sehingga menghasilkan satu kesimpulan yang tidak dikatakan oleh seseorang atau imam madzhab manapun.

3. Para ulama` fiqh sepakat bahwa ruang lingkup talfiq ini terbatas pada pada masalah-masalah furu`iyah ijtihadiyah dlonniyyah (cabang-cabang fikih ijtihadi yg masih perkiraan). Adapun pada masalah ushuliyyah (pokok dasar agama) seperti masalah iman atau aqidah itu bukanlah ruang lingkup talfiq.
4. Ulama’ berbeda pendapat untuk menyikapi hukum talfiq, ada yang membolehkan, ada yang melarang, ada pula yang membolehkan dengan beberapa persyaratan, sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian di atas.
5. larangan talfiq tidak bersifat absolut, kerena tidak ada dalil yang shorih tentang pelarangan tersebut.
6. Kebolehan talfiq di atas tadi tidak bersifat mutlak adanya, akan tetapi dibatasi oleh ruang lingkup yang telah ditentukan sebagai berikut:

1. Tidak menimbulkan kebatilan pada hakekat sesuatu tersebut, seperti menghalalkan sesuatu yang sudah jelas jelas keharamannya semisal zina dan minum arak .

2. Tidak menimbulkan bahaya pada selain hakekat sesuatu itu sendiri, seperti mengambil rukhsoh dengan sengaja, dengan cara mengambil kemudahan pada tiap tiap madzhab dengan tanpa keadaan dlorurot dan udzur, ini berbahaya karena berniat menutup kesusahan dengan cara yang salah dengan melemahkan pembebanan syari`at itu sendiri .

7. Para ulama juga berbeda pendapat tentang bolehnya talfiq dengan alasan kesengajaan mengambil pendapat yang ringan, ada yang membolehkan ada pula yang melarang.

V. DAFTAR PUSTAKA
2. http://mmukarawang.wordpress.com/bahtsul-masail-januari-2008/          
3. Al-Fiqhu ‘ala Madzahibil ‘Arbaah
4. Al-Maktabah Syamilah
5. http://ainirzone.blogspot.com/2011/04/ijtihad-ittiba-taqlid-talfik-dan.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar